Ngobrol Santai Tentang Makanan Viral: dari Warung ke Restoran Dunia

Ngomongin makanan viral itu selalu seru. Kadang terasa seperti ombak yang datang tiba-tiba: satu foto, satu video 15 detik, dan tiba-tiba antrian panjang mengular. Aku suka mengamati fenomena ini bukan cuma karena penasaran, tapi juga karena sering ikut terjebak, ikut antre, lalu menilai sendiri—apakah yang viral benar-benar layak? Atau sekadar suguhan visual untuk feed?

Mengapa makanan bisa begitu cepat viral?

Makanan viral biasanya punya dua hal: visual yang kuat dan cerita yang mudah dibagikan. Bentuknya unik, sausnya meleleh dramatic, atau porsinya ekstrem. Ditambah lagi, saat ini setiap orang seolah jadi kritikus makanan amatir dengan ponsel di tangan. Sekali berubah jadi tren, semua orang ingin coba. Ada juga faktor nostalgia—menu tradisional yang dipresentasikan ulang jadi modern sering mendapat perhatian ekstra. Saya pernah melihat pentol sederhana berubah jadi sensasi karena dikombinasikan dengan saus fusion dan plating cakep. Lucu, kan?

Dari warung ke restoran bintang: apa yang berubah?

Aku pernah makan bakso yang dulu hanya ada di warung kecil dekat kampus. Sekarang, versi ‘restorannya’ ada di pusat kota, harganya tiga kali lipat, tapi disajikan di piring kayu dengan microgreen. Ada yang kehilangan jiwa warung, tapi ada juga yang memberi apresiasi pada bahan dan teknik yang sebelumnya tak terlihat. Perubahan ini bukan selalu buruk. Kalau kualitas bahan meningkat dan pembuatnya mendapat pengakuan, itu bagus. Namun, kalau perubahan hanya soal estetika tanpa membenahi rasa, buatku itu cuma ‘klikbait’ rasa.

Cerita kecil dari gang sempit: ketika martabak jadi seleb

Beberapa bulan lalu, aku sengaja cari martabak viral yang bikin heboh karena toppingnya unik. Lokasinya? Gang sempit yang nyaris tak terlihat dari jalan besar. Aku ngantri dua jam. Di depan, ada ibu-ibu yang terang-terangan menangis senang karena akhirnya bisa makan martabak yang viral itu. Di sela antrean, aku ngobrol dengan penjual—dia cerita awalnya cuma coba-coba resep baru, nggak pernah bayangkan bakal sejauh ini. Saat martabak sampai di tangan, rasanya? Manis, legit, dengan kejutan tekstur. Definitif bukan sekadar tampil cantik. Itu salah satu momen di mana viral dan rasa bersatu.

Sementara itu, di sisi lain spektrum, aku juga pernah kecewa ketika makan di restoran yang katanya ‘inovatif internasional’. Presentasinya Instagrammable—benar-benar rapi, penuh warna—tapi gigitan pertama datar. Itu mengingatkanku bahwa plating tidak bisa menggantikan keseimbangan rasa. Pengalaman makan seharusnya menyeluruh: aroma, tekstur, rasa, suasana, dan pelayanan. Kalau satu aspek dominan tapi lainnya lemah, rasanya kurang lengkap.

Bagaimana saya mengulas restoran: yang saya lihat pertama kali

Saat memberi ulasan, aku lebih melihat hal-hal sederhana. Pertama, konsistensi. Jika menu bilang pedas sedang, aku berharap pedasnya itu ada—setiap kali. Kedua, proporsi harga dan porsi. Kadang makanan mahal, tapi porsi kecil; boleh jadi karena kualitasnya tinggi, tapi harus jelas alasannya. Ketiga, pelayanan. Ramah dan cepat itu nilai plus besar. Keempat, suasana tempat. Musik, pencahayaan, sampai tata meja ikut mempengaruhi mood makan. Dan terakhir, tentu saja rasa. Ini inti yang tak bisa diabaikan.

Aku juga suka membandingkan makanan lokal yang ‘diangkat’ ke kancah internasional. Beberapa restoran berhasil memadukan teknik modern dengan rasa tradisional tanpa kehilangan akar. Ada pula yang berlebihan dan kehilangan identitasnya sendiri. Jadi, ketika aku menilai restoran, aku selalu bertanya: apakah mereka menghormati bahan dan asal-usulnya, atau hanya meniru tren?

Satu hal lagi: kadang tempat kecil justru menyajikan penemuan rasa terbesar. Waktu di sebuah kafe kecil dekat kampus, aku menemukan perpaduan kopi dan kue lokal yang simpel tapi membuatku pengen balik lagi. Kalau kamu pengunjung yang suka eksplorasi, jangan cuma ngepoin tempat terkenal. Coba juga warung yang tak ramai di peta—mereka sering menyimpan kejutan.

Oh ya, kalau kamu lagi mencari tempat yang menyajikan perpaduan makanan lokal dan internasional dengan suasana nyaman, aku pernah mampir dan cukup suka dengan atmosfernya di cornercafecs. Bukan endorsement berlebih, cuma rekomendasi dari pengalaman pribadi.

Di akhir hari, makanan viral itu seperti undangan—untuk mencoba, menilai, dan kemudian membentuk opini sendiri. Jangan takut antre, tapi juga jangan langsung percaya kata orang. Cicipi dengan mata, hati, dan lidahmu sendiri. Yang paling penting: nikmati prosesnya. Makan itu soal kebahagiaan sederhana, soal cerita yang bisa dibagi di meja makan bersama teman atau bahkan cerita kecil yang kamu simpan sendiri.