Ada sesuatu yang menyenangkan setiap kali makanan tiba-tiba jadi viral. Rasanya seperti menunggu konser kecil; antrean, obrolan, dan ekspektasi yang membumbung. Aku sering kebagian mood ikut-ikutan mencoba, bukan sekadar ikut tren, tapi karena penasaran—apa benar semuanya sehebat itu? Dalam perjalanan kulinermu, dari gerobak kaki lima sampai restoran internasional berlapis kristal, aku pernah tertawa, terkejut, dan beberapa kali kecewa. Di sini aku berbagi pengalaman, opini, dan rekomendasi yang mungkin berguna kalau kamu mau hunting berikutnya.
Mengapa sesuatu bisa jadi viral?
Viral itu misterius. Kadang karena foto yang Instagrammable, kadang karena seorang influencer merekomendasikan. Sekali unggah dengan caption mengena, dalam beberapa jam antrian bisa memanjang. Aku ingat waktu pertama kali melihat video tteokbokki meleleh; warnanya menggoda, suara gorengan renyah di latar, dan caption yang lebay. Esoknya, aku antre dua jam. Hasilnya? Rasanya memang enak, tapi tidak sampai membuatku rela rela bolos kerja. Nah, di situlah pelajaran pertama: ekspektasi tinggi sering bertemu realita yang manusiawi.
Pengalaman: dari gerobak kaki lima sampai restoran bintang
Gerobak di sudut jalan itu punya cerita sendiri. Penjualnya ramah, bumbu dibuat rumahan, dan suasana makan berdiri memberi rasa autentik yang sulit ditiru. Salah satu favoritku adalah soto kaki lima yang kuhangatkan di musim hujan—kalau soto itu viral, rasanya seperti memeluk. Bandingkan dengan pengalaman beberapa bulan lalu ketika aku coba restoran internasional yang terkenal di kota. Interiornya memukau, pelayan sigap, plating bak seni. Tapi, ada momen ketika rasa terasa terlalu “disain”, seperti dipaksakan modern tanpa menyentuh jiwa aslinya.
Aku percaya keduanya punya tempatnya. Kaki lima mengajarkan ketulusan rasa; restoran internasional mengajarkan teknik dan pengalaman. Saat aku menulis review, aku coba membayangkan siapa yang akan makan hidangan itu: apakah pasangan yang ingin merayakan ulang tahun, atau mahasiswa yang butuh kenyamanan makanan rumah? Karena konteks itu penting.
Apakah makanan viral selalu pantas dicoba?
Tidak selalu. Beberapa makanan memang inovatif dan layak dilestarikan—seperti inovasi fusion yang benar-benar menyatu antara dua tradisi kuliner. Namun, ada juga yang hanya populer karena hype sementara; rasanya biasa, porsinya mini, dan harganya ternyata overprice. Aku pernah mencoba satu dessert viral yang bentuknya indah, tapi setiap suapan terasa kurang manis, terlalu tekstur, dan setelahnya aku merasa menyesal menghabiskan uang. Pengalaman itu mengajarkan satu hal: baca beberapa ulasan, bukan hanya caption yang hyped.
Tapi ada juga kejutan manis. Di sebuah kafe kecil, aku menemukan croffle yang sederhana—lapisannya renyah, mentega menyatu pas, dan kopi yang mendampingi tidak berusaha mencuri perhatian. Itu viral karena kata orang memang benar. Cerita seperti ini membuatku percaya bahwa viralitas bisa jadi jembatan menuju penemuan kuliner baru yang bermakna.
Rekomendasi pribadi: apa yang patut dicoba?
Aku selalu punya daftar campuran: satu kaki lima, satu kafe lokal, dan satu restoran internasional. Untuk kaki lima, cari yang memasak di depan mata; aroma adalah indikator. Untuk kafe, aku merekomendasikan tempat yang menaruh perhatian pada biji kopi dan cara seduh—salah satu favorit tersembunyi yang pernah kusambangi adalah cornercafecs, di mana barista ramah dan kopinya konsisten. Untuk pengalaman internasional, pilih restoran yang jelas menerangkan sumber bahan dan tekniknya; kalau chef bisa menjelaskan visi makanannya dengan penuh antusias, biasanya rasanya juga berkarakter.
Terakhir, ingatlah bahwa makan itu soal kenikmatan dan cerita. Viral boleh jadi alasan pertama, tapi biarkan indrawimu yang menentukan akhir dari pengalaman itu. Jangan malu untuk keluar dari antrean hype dan mencoba tempat yang sepi—mungkin saja di sanalah kamu menemukan hidangan yang benar-benar berbicara pada lidah dan hati.
Sekian cerita ringkas dari perjalanan kulinarku. Kalau kamu punya rekomendasi viral yang wajib dicoba atau justru ingin berbagi kekecewaan, ayo ngobrol. Aku selalu senang tukar cerita dan, siapa tahu, rute makan berikutnya bisa kita jelajahi bersama.