Aku sering berpikir, jadi penikmat makanan itu sebenarnya pahit-manisnya enak juga. Dari warteg yang bau minyak dan sambalnya seadanya sampai resto berkilau dengan menu berbahasa asing, semua punya tempat di hati (dan perut) aku. Artikel ini bukan panduan kuliner serius, lebih ke curhat dan catatan kecil tentang bagaimana aku menikmati tren makanan viral tanpa merasa kehilangan akar.
Makanan viral: fenomena yang cepat dan gampang menggoda (deskriptif)
Setiap minggu ada saja makanan baru yang jadi viral. Biasanya dimulai dari satu postingan dengan foto estetik, lalu ribuan orang berebut mencobanya. Musik lagu-lagu pendek di video membuat segalanya terasa dramatis; satu gigitan, kamu harus ikut-ikutan. Aku pernah mencoba ayam geprek yang viral sampai bisa dibilang lidahku terbakar — bukan karena pedasnya saja, tapi karena ekspektasi yang sudah dipompa terlalu tinggi. Satu hal yang jelas: viral itu efektif bikin antrian panjang dan mood senang sesaat.
Kok bisa, ya, aku rela ngantri di warteg? (pertanyaan)
Kalau ditanya mengapa aku masih sering balik ke warteg di dekat kos, jawabannya sederhana: nostalgia dan kenyang. Warteg tidak pernah menawarkan plating Instagramable, tapi lauknya sering membekas di memori. Ada satu warteg yang selalu membuat tahu bacem dan oseng tempe dengan rasa yang bikin aku merasa pulang. Pernah suatu hari, aku duduk di meja kecil, makan nasi panas sambil ngobrol dengan penjual—itu momen yang tidak bisa dibayar dengan harga mahal di resto fine dining.
Eksperimen rasa: dari pecel lele sampai ramen—santai aja
Di lain waktu, rasa penasaran membawaku ke resto internasional yang lagi hits. Ramen dengan kaldu yang disumpah-sumpahin instagrammer ternyata enak, tapi juga terasa seperti produk restoran yang dibuat untuk standar wisatawan: aman, nyaman, dan sedikit kurang kejutan. Aku juga sempat mampir ke sebuah kafe kecil, cornercafecs, yang rekomendasinya datang dari teman. Di sana aku menemukan perpaduan manis kopinya yang pas dan croissant renyah yang membuatku bertanya-tanya kenapa aku tidak sering memberi kesempatan kafe-kafe neighborhood.
Aku suka bagaimana setiap tempat punya bahasa sendiri. Warteg berbicara tentang rumah, resto internasional biasanya tentang presentasi dan pengalaman. Ada rasa bangga ketika bisa menikmati keduanya: affordable comfort food di siang hari, dan sesekali mencoba sesuatu yang “mengajar” lidah tentang teknik dan bahan baru di malam hari.
Apakah viral selalu berarti enak?
Tidak selalu. Banyak makanan viral yang populer bukan murni karena rasanya, melainkan karena konsepnya yang lucu, penyajian yang ekstrem, atau harga yang “cilok” lalu tiba-tiba melesat. Aku pernah kecewa ketika dessert yang katanya fenomenal ternyata manisnya kebangetan dan teksturnya tidak sebanding dengan foto. Pelajaran: ikuti rasa penasaran, tapi jangan lupa standar pribadi. Kalau untuk aku, nilai makanan bukan hanya rasa, tapi juga kenangan, keramahan pelayan, dan kenyamanan suasana.
Tips ringan dari penikmat yang kadang rakus
Kalau kamu suka eksplor makanan viral tapi juga sayang dompet dan hati, ini beberapa kebiasaan yang aku jalankan: pertama, baca beberapa review, bukan cuma nonton satu video. Kedua, kunjungi warteg atau resto lokal lebih sering—mereka biasanya ahli di satu atau dua menu yang bikin rindu. Ketiga, sesekali pilih pengalaman daripada foto; makan pelan, nikmati aroma, dan ajak teman ngobrol. Keempat, jangan takut mencoba kafe lokal seperti cornercafecs yang mungkin tidak viral tapi hangat dan legit.
Akhir kata, jadi penikmat makanan viral itu menyenangkan kalau kita paham batasan. Ada kalanya aku ikut ngantri demi hype, dan ada kalanya aku memilih nasi uduk dari pedagang pinggir jalan yang rasanya lebih memuaskan hati. Yang terpenting, makanan adalah soal kenangan—bukan hanya soal jumlah like di foto. Kalau suatu hari kamu lihat aku lagi sengaja pakai hoodie lusuh dan bawa dompet tipis, itu tandanya aku sedang berburu warteg terbaik di kota. Selamat makan, dan semoga lidahmu selalu penasaran.